Mojodadi, Lokalisasi Kondang di Kudus yang Jadi Sentra Wedus

Anggara Jiwandhana
Sabtu, 27 November 2021 14:04:28


[caption id="attachment_255076" align="alignleft" width="1280"]
Area Mojodadi Farm Kudus, yang berdiri di bekas lokalisasi Mojodadi. MURIANEWS/Anggara Jiwandhana)[/caption]
MURIANEWS, Kudus – Dulu, namanya Mojodadi. Bagi generasi yang lahir atau hidup di era reformasi pasti tak asing dengan nama ini. Nama Mojodadi cukup kondang waktu itu.
Mojodadi dahulu merupakan sentra lokalisasi yang berada di RT 4/RW 7 Dukuh Sukoharjo, Desa Gribig, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.
Dahulu juga, puluhan rumah semi permanen berhias lampu remang-remang ada di sudut-sudutnya. Tawa renyah wanita tuna susila yang bercengkrama dengan pria hidung belang pun terdengar di tiap malamnya.
Namun, ketika era reformasi jatuh di tahun 1998, lokalisasi tersebut pun ikut runtuh. Banjir protes dari masyarakat setempat jadi akhir cerita dari lokalisasi yang membuat nama Desa Gribig tenar dengan stigma yang negatif.
“Dulu itu namanya Mojodadi, ya singkatan kalau mojok langsung dadi (jadi,red),” kata Sekretaris Desa Gribig Kamal, Sabtu (21/11/2021).
[caption id="attachment_255077" align="alignleft" width="1280"]
Kawasan Mojodadi yang dulu lokalisasi kini jadi sentra ternak. (MURIANEWS/Anggara Jiwandhana)[/caption]
Kamal mengatakan, dahulu ada sekitar dua RT dan satu RW yang dijadikan tempat lokalisasi. Dengan jumlah rumah mencapai 60-an lebih.
Namun memang, kebanyakan wanita tuna susila yang mengisi pundi uang di sana bukanlah warga asli Gribig. Melainkan dari daerah-daerah luar Kabupaten Kudus.
“Saat itu mulai ramai itu sekitar tahu 1975, satu per satu mulai datang dan menempati hunian di sana, hingga akhirnya ya banyak sekali,” ujarnya.
Baca: Penutupan Lokalisasi dan Karaoke Diprotes, Ormas di Pati Ini Pasang Badan
Ketika era reformasi tumbang, masyarakat kemudian memanfaatkannya untuk menggelar aksi protes. Diasosiasi oleh kumpulan pemuda desa, lokaliasi tersebut pun akhirnya ditutup karena desakan bersama.
“Ya sudah, sampai akhirnya terbengkalai, banyak rumah dibongkar hingga akhirnya jadi ladang pertanian hingga 2019 lalu,” terangnya.
Pada tahun 2019 pula, lanjut Kamal, ada enam pemuda yang berinisiatif untuk membangun kandang ternak di sana. Pemerintah desa pun menyetujui. Dengan pertimbangan lahan tersebut bisa dipakai untuk kegiatan yang bermanfaat.
Baca: Bupati Kudus Akui Kenaikan UMK 2022 Rendah
Kini, lahan seluas dua hektare tersebut pun telah disii oleh berbagai peternak. Mulai dari peternak kambing, kerbau, hingga peternak ayam. Totalnya, ada 30 peternak lebih.
“Kami malah senang ini bisa dimanfaatkan dengan baik, desa juga mendapat untung dari sistem sewa tanahnya. Mereka juga mengolah limbah ternaknya sendiri, jauh lebih baik daripada yang dulu-dulu,” kata dia.
Kamal pun berharap, dengan banyaknya peternak yang mendiami tanah bekas lokasisasi prostitusi itu, nama buruk Desa Gribig bisa semakin terkikis. Kemudian beralih menjadi sentra ternak di Kudus.
“Kalau dulu WTS di Gribig itu wanita tuna susila, kini singkatannya berubah jadi ‘Wedus Tetap Sejahtera’. Mereka bahkan menamai kelompoknya dengan Mojodadi Farm, sehingga bisa mengubah persepsi masyarakat,” tandasnya.
Reporter: Anggara Jiwandhana
Editor: Ali Muntoha

MURIANEWS, Kudus – Dulu, namanya Mojodadi. Bagi generasi yang lahir atau hidup di era reformasi pasti tak asing dengan nama ini. Nama Mojodadi cukup kondang waktu itu.
Mojodadi dahulu merupakan sentra lokalisasi yang berada di RT 4/RW 7 Dukuh Sukoharjo, Desa Gribig, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.
Dahulu juga, puluhan rumah semi permanen berhias lampu remang-remang ada di sudut-sudutnya. Tawa renyah wanita tuna susila yang bercengkrama dengan pria hidung belang pun terdengar di tiap malamnya.
Namun, ketika era reformasi jatuh di tahun 1998, lokalisasi tersebut pun ikut runtuh. Banjir protes dari masyarakat setempat jadi akhir cerita dari lokalisasi yang membuat nama Desa Gribig tenar dengan stigma yang negatif.
“Dulu itu namanya Mojodadi, ya singkatan kalau mojok langsung dadi (jadi,red),” kata Sekretaris Desa Gribig Kamal, Sabtu (21/11/2021).
[caption id="attachment_255077" align="alignleft" width="1280"]

Kamal mengatakan, dahulu ada sekitar dua RT dan satu RW yang dijadikan tempat lokalisasi. Dengan jumlah rumah mencapai 60-an lebih.
Namun memang, kebanyakan wanita tuna susila yang mengisi pundi uang di sana bukanlah warga asli Gribig. Melainkan dari daerah-daerah luar Kabupaten Kudus.
“Saat itu mulai ramai itu sekitar tahu 1975, satu per satu mulai datang dan menempati hunian di sana, hingga akhirnya ya banyak sekali,” ujarnya.
Baca: Penutupan Lokalisasi dan Karaoke Diprotes, Ormas di Pati Ini Pasang Badan
Ketika era reformasi tumbang, masyarakat kemudian memanfaatkannya untuk menggelar aksi protes. Diasosiasi oleh kumpulan pemuda desa, lokaliasi tersebut pun akhirnya ditutup karena desakan bersama.
“Ya sudah, sampai akhirnya terbengkalai, banyak rumah dibongkar hingga akhirnya jadi ladang pertanian hingga 2019 lalu,” terangnya.
Pada tahun 2019 pula, lanjut Kamal, ada enam pemuda yang berinisiatif untuk membangun kandang ternak di sana. Pemerintah desa pun menyetujui. Dengan pertimbangan lahan tersebut bisa dipakai untuk kegiatan yang bermanfaat.
Baca: Bupati Kudus Akui Kenaikan UMK 2022 Rendah
Kini, lahan seluas dua hektare tersebut pun telah disii oleh berbagai peternak. Mulai dari peternak kambing, kerbau, hingga peternak ayam. Totalnya, ada 30 peternak lebih.
“Kami malah senang ini bisa dimanfaatkan dengan baik, desa juga mendapat untung dari sistem sewa tanahnya. Mereka juga mengolah limbah ternaknya sendiri, jauh lebih baik daripada yang dulu-dulu,” kata dia.
Kamal pun berharap, dengan banyaknya peternak yang mendiami tanah bekas lokasisasi prostitusi itu, nama buruk Desa Gribig bisa semakin terkikis. Kemudian beralih menjadi sentra ternak di Kudus.
“Kalau dulu WTS di Gribig itu wanita tuna susila, kini singkatannya berubah jadi ‘Wedus Tetap Sejahtera’. Mereka bahkan menamai kelompoknya dengan Mojodadi Farm, sehingga bisa mengubah persepsi masyarakat,” tandasnya.
Reporter: Anggara Jiwandhana
Editor: Ali Muntoha