Belum Ada Titik Temu, Buruh Jepara Minta UMK Naik 20 Persen
Budi Santoso
Senin, 9 November 2020 16:00:38
Perbedaan pendapat terkait munculnya Surat Edaran (SE) Menaker dan penerapan PP 78 Tahun 2015, masih menjadi perdebatan antara buruh dengan pengusaha.
Anggota DPK Jepara Miftah Arifin menyatakan dalam rapat DPK pekan lalu, belum ada kesepakatan yang dicapai. Pembahasan UMK ini kemudian disepakati akan kembali dilanjutkan dalam pertemuan selanjutnya. Namun, kapan pembahasan mengenai hal ini akan kembali dilaksanakan, masih belum diketahui.
“Sampai hari ini, saya belum mendapatkan kabar mengenai kapan pembahasan lanjutan ini akan dilaksanakan. Namun yang jelas memang belum ada kesepakatan mengenai hal ini. Kemarin pembahasan ditunda dan disepakati akan dilanjutkan lagi dalam forum yang sama. Tapi kapannya, saya masih menunggu,” ujar Miftah Arifin, Senin (9/11/2020).
Dijelaskan oleh Miftah, pada rapat DPK pekan lalu, pihak pengusaha berpendapat bahwa tahun ini tidak perlu ada perubahan UMK, dengan kata lain besaran UMK tetap seperti tahun lalu. Hal ini didasarkan pada SE Menaker, yang disampaikan berkait kondisi pandemi Covid-19 saat ini. Namun di sisi lain, para buruh/pekerja tetap bersikukuh harus ada pembahasan mengenai kenaikan UMK di Jepara.
Para buruh/bekerja dalam kesempatan itu tetap menginginkan agar penghitungan UMK dilakukan dengan mendasarkan pada angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Jepara.
Sesuai dengan versi buruh/pekerja, sesuai dengan KHL hitungan mereka, kenaikan UMK yang diusulkan mencapai 20 persen. Hal itu juga sudah disampaikan dalam pertemuan Rapat DPK, Jumat (6/11/2020) pekan lalu.“Saat itu, kami kemudian mengusulkan agar dihitung simulasinya jika didasarkan pada KHL yang ada. Kebetulan dalam rapat juga hadir perwakilan dari BPS yang mengetahui besaran KHL. Setelah dihitung-hitung, angka kenaikannya hampir sama dengan hitung-hitungan yang disampaikan Gubernur Jawa Tengah,” tambah Miftah Arifin.Usulan dilakukan simulasi penghitungan sesuai dengan kenaikan indek KHL, disampaikan karena saat ini UU Omnibus Law Tenaga Kerja, sampai saat ini belum ada PP-nya. Sehingga dasar hukum yang masih bisa digunakan adalah PP Nomor 78 2015, yang medasarkan KHL sebagai bagian dari proses penghitungan UMK. Namun KHL yang digunakan adalah hitungan yang dilakukan oleh BPS dan bukan KHL yang diklaim oleh buruh/pekerja yang disampaikan pada pertemuan itu. Reporter: Budi ErjeEditor: Supriyadi
MURIANEWS, Jepara - Pembahasan mengenai Upah Minimal Kabupaten (UMK) Jepara sampai saat ini masih belum mencapai titik temu. Dalam Rapat Dewan Pengupahan Kabupaten (DPK) Jepara, pekan lalu, pihak buruh/pekerja dan pengusaha masih belum mendapatkan kesepakatan.
Perbedaan pendapat terkait munculnya Surat Edaran (SE) Menaker dan penerapan PP 78 Tahun 2015, masih menjadi perdebatan antara buruh dengan pengusaha.
Anggota DPK Jepara Miftah Arifin menyatakan dalam rapat DPK pekan lalu, belum ada kesepakatan yang dicapai. Pembahasan UMK ini kemudian disepakati akan kembali dilanjutkan dalam pertemuan selanjutnya. Namun, kapan pembahasan mengenai hal ini akan kembali dilaksanakan, masih belum diketahui.
“Sampai hari ini, saya belum mendapatkan kabar mengenai kapan pembahasan lanjutan ini akan dilaksanakan. Namun yang jelas memang belum ada kesepakatan mengenai hal ini. Kemarin pembahasan ditunda dan disepakati akan dilanjutkan lagi dalam forum yang sama. Tapi kapannya, saya masih menunggu,” ujar Miftah Arifin, Senin (9/11/2020).
Dijelaskan oleh Miftah, pada rapat DPK pekan lalu, pihak pengusaha berpendapat bahwa tahun ini tidak perlu ada perubahan UMK, dengan kata lain besaran UMK tetap seperti tahun lalu. Hal ini didasarkan pada SE Menaker, yang disampaikan berkait kondisi pandemi Covid-19 saat ini. Namun di sisi lain, para buruh/pekerja tetap bersikukuh harus ada pembahasan mengenai kenaikan UMK di Jepara.
Para buruh/bekerja dalam kesempatan itu tetap menginginkan agar penghitungan UMK dilakukan dengan mendasarkan pada angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Jepara.
Sesuai dengan versi buruh/pekerja, sesuai dengan KHL hitungan mereka, kenaikan UMK yang diusulkan mencapai 20 persen. Hal itu juga sudah disampaikan dalam pertemuan Rapat DPK, Jumat (6/11/2020) pekan lalu.
“Saat itu, kami kemudian mengusulkan agar dihitung simulasinya jika didasarkan pada KHL yang ada. Kebetulan dalam rapat juga hadir perwakilan dari BPS yang mengetahui besaran KHL. Setelah dihitung-hitung, angka kenaikannya hampir sama dengan hitung-hitungan yang disampaikan Gubernur Jawa Tengah,” tambah Miftah Arifin.
Usulan dilakukan simulasi penghitungan sesuai dengan kenaikan indek KHL, disampaikan karena saat ini UU Omnibus Law Tenaga Kerja, sampai saat ini belum ada PP-nya. Sehingga dasar hukum yang masih bisa digunakan adalah PP Nomor 78 2015, yang medasarkan KHL sebagai bagian dari proses penghitungan UMK. Namun KHL yang digunakan adalah hitungan yang dilakukan oleh BPS dan bukan KHL yang diklaim oleh buruh/pekerja yang disampaikan pada pertemuan itu.
Reporter: Budi Erje
Editor: Supriyadi