Begini Kisah Perjuangan Srikandi Muria Pertahankan Kemerdekaan RI
Dian Utoro Aji
Jumat, 17 Agustus 2018 15:28:34
Monumen ini didirikan di lahan yang dulu merupakan markas para pejuang di lereng Gunung Muria.
Diceritakan Dwi Yuliastuti, salah satu aktivis Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (Jenank), monumen ini dibangun untuk mengenang kembali apa yang terjadi pada 69 tahun yang lalu. Tepatnya ketika Belanda sedang menggencarkan agresi militer kedua.
“Menurut catatan sejarah, di tempat ini adalah adalah Markas Komando Muria. Dari markas ini Mayor Kusmanto merancang melakukan penyerangan dan mereka melaukan perebutan logistik milik Belanda,” katanya, Jumat (17/8/2019).
Lokasi yang relatif sempit, serta letaknya berada di tengah-tengah perkampungan di Desa Glagah, sengaja dibuat untuk persembunyian. Meski demikian, kata dia, lambat laun ternyata intelijen Belanda mampu mengendus aktivitas para pejuang itu.
Belanda kemudian menyerang dan menggempur markas itu. Akibatnya, nyawa para pejuang berguguran. Di teng-tengah para pejuang ini ada sejumlah kaum hawa yang tak gentar ikut berjuang dan membantu peperangan.
“Bagian penting lainnya dalam sejarah peperangan di lereng Muria, adalah peran seorang perempuan. Ternyata tanpa kami sadari perempuan cukup berperan dalam medan peperangan di lereng Pegunungan Muria,” jelasnya.Disebutkan dia, ada tokoh-tokoh perempuan di lereng Muria yang ikut mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Di antara mereka adalah Nyonya Kusmanto, Maryati, Minthok, Sri Muawatun, Sutinah, Ayu Suparti dan beberapa nama lainnya.“Sekadar mengingatkan, para pejuang perempuan itu datang ke Markas Komando Daerah Muria ini bukan seperti ibu-ibu arisan. Mereka melaju ke medan perang. Mereka tidak tahu apakah mereka bisa pulang ke rumah lagi atau tidak,” terangnya.Meski demikian, ia cukup menyayangkan karena kini nama-nama para pejuang perempuan ini tak banyak yang mengenalnya. Nama-nama mereka juga tak tercatat di buku-buku pelajaran sejarah, dan tak juga diabadikan menjadi nama jalan seperti para pahlawan lainnya.“Nama-nama mereka belum menjadi nama jalan, belum tercatat di dalam buku sejarah. Akan tetapi mereka susungguhnyaadalah orang-orang hebat. Perempuan-perempuan itu sudah berhasil menyelesaikan urusan dosmetik, dan mereka dengan gagah berani maju ke medan perang,” tutupnya.
Editor : Ali Muntoha
Murianews, Kudus – Hari Kemerdekaan Indonesia dimaknai Komunitas Jenank untuk mengenang jasa para Srikandi Muria. Ya, ada sebuah Monumen Komando Muria yang terletak di Desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe, Kudus yang menjadi saksi perjuangan para kaum hawa di Lereng Muria untuk mempertahankan kemerdekaan saat agresi militer Belanda.
Monumen ini didirikan di lahan yang dulu merupakan markas para pejuang di lereng Gunung Muria.
Diceritakan Dwi Yuliastuti, salah satu aktivis Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (Jenank), monumen ini dibangun untuk mengenang kembali apa yang terjadi pada 69 tahun yang lalu. Tepatnya ketika Belanda sedang menggencarkan agresi militer kedua.
“Menurut catatan sejarah, di tempat ini adalah adalah Markas Komando Muria. Dari markas ini Mayor Kusmanto merancang melakukan penyerangan dan mereka melaukan perebutan logistik milik Belanda,” katanya, Jumat (17/8/2019).
Lokasi yang relatif sempit, serta letaknya berada di tengah-tengah perkampungan di Desa Glagah, sengaja dibuat untuk persembunyian. Meski demikian, kata dia, lambat laun ternyata intelijen Belanda mampu mengendus aktivitas para pejuang itu.
Belanda kemudian menyerang dan menggempur markas itu. Akibatnya, nyawa para pejuang berguguran. Di teng-tengah para pejuang ini ada sejumlah kaum hawa yang tak gentar ikut berjuang dan membantu peperangan.
“Bagian penting lainnya dalam sejarah peperangan di lereng Muria, adalah peran seorang perempuan. Ternyata tanpa kami sadari perempuan cukup berperan dalam medan peperangan di lereng Pegunungan Muria,” jelasnya.
Disebutkan dia, ada tokoh-tokoh perempuan di lereng Muria yang ikut mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Di antara mereka adalah Nyonya Kusmanto, Maryati, Minthok, Sri Muawatun, Sutinah, Ayu Suparti dan beberapa nama lainnya.
“Sekadar mengingatkan, para pejuang perempuan itu datang ke Markas Komando Daerah Muria ini bukan seperti ibu-ibu arisan. Mereka melaju ke medan perang. Mereka tidak tahu apakah mereka bisa pulang ke rumah lagi atau tidak,” terangnya.
Meski demikian, ia cukup menyayangkan karena kini nama-nama para pejuang perempuan ini tak banyak yang mengenalnya. Nama-nama mereka juga tak tercatat di buku-buku pelajaran sejarah, dan tak juga diabadikan menjadi nama jalan seperti para pahlawan lainnya.
“Nama-nama mereka belum menjadi nama jalan, belum tercatat di dalam buku sejarah. Akan tetapi mereka susungguhnyaadalah orang-orang hebat. Perempuan-perempuan itu sudah berhasil menyelesaikan urusan dosmetik, dan mereka dengan gagah berani maju ke medan perang,” tutupnya.
Editor : Ali Muntoha