KUPI di Jepara: Kekerasan pada Perempuan Bertolakbelakang dengan Agama
Faqih Mansur Hidayat
Sabtu, 26 November 2022 12:19:36
Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian sekaligus SC KUPI II menyampaikan, kekerasan pada perempuan adalah wujud yang paling ekstrem dari ketidakadilan hakiki.
Karena itu, segala wujud perilaku atau praktik yang membahayakan perempuan selalu dilihat sebagai akibat dari perspektif yang tidak adil.
’’Inilah yang oleh KUPI di-
rethinking (ditinjau kembali, red), dilakukan penyusunan mental model baru yang sesuai dengan dasar-dasar keagamaan,’’ tuturnya, saat konferensi pers KUPI II, Jumat (26/11/2022).
Baca: KUPI di Jepara Dorong Pengesahan RUU PPRTAlissa menambahkan, KUPI II kali ini juga mengangkat pembahasan tentang
harmful practices (praktik berbahaya, red) pada perempuan. Praktik berbahaya pada perempuan ini sering kali dilakukan pelaku dengan menggunakan justifikasi agama.
’’Ini yang kita lawan. Agama tidak menempatkan laki-laki di atas perempuan. Ya, kita senang bisa berkontribusi pada HAKTP ini,’’ tegas Alissa.
Sementara itu, Misni Parjiati, salah satu peserta KUPI dari perwakilan difabel mengatakan, perempuan dengan disabilitas juga merupakan kelompok rentan.
Di masyarakat, tambah Misni, kelompok disabilitas cenderung tidak menguntungkan dan ditinggalkan.
’’Saya mengapresiasi KUPI karena melibatkan teman-teman difabel untuk mengikuti acara ini. Isu disabilitas ini menjadi sangat penting. Karena disabilitas atau tidak adalah hamba Allah yang setara,’’ terangnya.
Misni berharap, semakin banyak orang-orang non-difabel yang membersamai kelompok difabel. ’’Harapan saya, kesadaran ini menjadi lebih luas. Banyak yang mau menjadi teman-difabel, sehingga kesulitan-kesulitan yang menjadi halangan disabilitas bisa terkurangi,’’ tutupnya.
Baca: Komnas Perempuan: 3000 Lebih Kasus Kekerasan pada Perempuan Terjadi di 2022Dilihat dari sudut pandang global, perwakilan
The United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women atau UN Women, Dwi Faiz menambahkan kekerasan terhadap perempuan dalam tataran paling ekstrem adalah femisida. Femisida adalah pembunuhan yang dilakukan kepada perempuan karena ia perempuan.’’Jika tadi Mbak Alissa mengatakan bentuk paling ekstrem dari diskriminasi adalah kekerasan, maka bentuk paling ekstrem dari kekerasan adalah femisida,’’ ungkap Dwi.Dwi melanjutkan, 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan. UN Women sendiri telah merilis sebuah studi tentang femisida. Angkanya mencapai 40.000 kasus di dunia.Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian tersebut, biasanya para korban dibunuh anggota keluarga terdekat.’’Kami, UN Women, berharap ada sebuah gerakan untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang dipimpin oleh perempuan, di mana gerakan ini mampu memajukan peradaban. Dan ini sesuai dengan nilai yang diperjuangkan oleh KUPI,’’ tutupnya. Reporter: Faqih Mansur HidayatEditor: Zulkifli Fahmi
Murianews, Jepara – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara memfokuskan pada isu-isu kesetaraan hak perempuan. Salah satu isu yang diangkat yaitu soal kekerasan terhadap perempuan.
Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian sekaligus SC KUPI II menyampaikan, kekerasan pada perempuan adalah wujud yang paling ekstrem dari ketidakadilan hakiki.
Karena itu, segala wujud perilaku atau praktik yang membahayakan perempuan selalu dilihat sebagai akibat dari perspektif yang tidak adil.
’’Inilah yang oleh KUPI di-
rethinking (ditinjau kembali, red), dilakukan penyusunan mental model baru yang sesuai dengan dasar-dasar keagamaan,’’ tuturnya, saat konferensi pers KUPI II, Jumat (26/11/2022).
Baca: KUPI di Jepara Dorong Pengesahan RUU PPRT
Alissa menambahkan, KUPI II kali ini juga mengangkat pembahasan tentang
harmful practices (praktik berbahaya, red) pada perempuan. Praktik berbahaya pada perempuan ini sering kali dilakukan pelaku dengan menggunakan justifikasi agama.
’’Ini yang kita lawan. Agama tidak menempatkan laki-laki di atas perempuan. Ya, kita senang bisa berkontribusi pada HAKTP ini,’’ tegas Alissa.
Sementara itu, Misni Parjiati, salah satu peserta KUPI dari perwakilan difabel mengatakan, perempuan dengan disabilitas juga merupakan kelompok rentan.
Di masyarakat, tambah Misni, kelompok disabilitas cenderung tidak menguntungkan dan ditinggalkan.
’’Saya mengapresiasi KUPI karena melibatkan teman-teman difabel untuk mengikuti acara ini. Isu disabilitas ini menjadi sangat penting. Karena disabilitas atau tidak adalah hamba Allah yang setara,’’ terangnya.
Misni berharap, semakin banyak orang-orang non-difabel yang membersamai kelompok difabel. ’’Harapan saya, kesadaran ini menjadi lebih luas. Banyak yang mau menjadi teman-difabel, sehingga kesulitan-kesulitan yang menjadi halangan disabilitas bisa terkurangi,’’ tutupnya.
Baca: Komnas Perempuan: 3000 Lebih Kasus Kekerasan pada Perempuan Terjadi di 2022
Dilihat dari sudut pandang global, perwakilan
The United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women atau UN Women, Dwi Faiz menambahkan kekerasan terhadap perempuan dalam tataran paling ekstrem adalah femisida. Femisida adalah pembunuhan yang dilakukan kepada perempuan karena ia perempuan.
’’Jika tadi Mbak Alissa mengatakan bentuk paling ekstrem dari diskriminasi adalah kekerasan, maka bentuk paling ekstrem dari kekerasan adalah femisida,’’ ungkap Dwi.
Dwi melanjutkan, 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan. UN Women sendiri telah merilis sebuah studi tentang femisida. Angkanya mencapai 40.000 kasus di dunia.
Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian tersebut, biasanya para korban dibunuh anggota keluarga terdekat.
’’Kami, UN Women, berharap ada sebuah gerakan untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang dipimpin oleh perempuan, di mana gerakan ini mampu memajukan peradaban. Dan ini sesuai dengan nilai yang diperjuangkan oleh KUPI,’’ tutupnya.
Reporter: Faqih Mansur Hidayat
Editor: Zulkifli Fahmi