Kisah Inspiratif Muryati, Penggagas Kampung Tanaman Kelor di Desa Kedungbulus Pati
Lismanto
Sabtu, 3 Desember 2016 20:08:50
Awalnya, gerakan itu diabaikan. Namun, kini sudah 70 persen warga di kampungnya menanam pohoh kelor. Muryati sendiri memiliki 1,5 hektare tanaman kelor di pekarangan rumahnya. Di pekarangan tersebut, ada sekitar 3 ribu pohon kelor yang tumbuh subur.
Meski tidak sebanyak di pekarangan rumah Muryati, penduduk setempat mulai menanam tanaman kelor di sekitar rumahnya. Saking suburnya tanaman kelor di Kedungbulus, desa ini diresmikan Bupati Pati Haryanto sebagai Kampung Kelor pada 4 Juli 2016.
"Waktu kecil, ibu saya mengatakan pohon kelor itu memiliki banyak khasiat kesehatan untuk tubuh. Saya sering mengkonsumsi daun itu menjadi olahan pangan. Sekitar tahun 2000, saya baru menanam pohon tersebut dengan skala banyak di sekitar rumah saya," ujar Muryati, Sabtu (3/12/2016).
Pohon kelor tersebut tidak hanya dibudidayakan. Muryati menjadikan daun kelor sebagai bahan utama pengolahan beberapa makanan yang masih sebatas dikonsumsi sendiri. Olahan masakan dari daun kelor yang berhasil dibuat Muryati, di antaranya nasi kelor, mie kelor, cendol kelor, puding, cake, hingga teh kelor.
Selama ini, masyarakat setempat hanya memanfaatkan daun kelor untuk makanan ternak. Namun, Muryati tidak ingin sendirian merasakan khasiat kesehatan daun kelor. Dia kemudian mengkampanyekan manfaat daun kelor kepada warga sekitar rumahnya.
Selama beberapa tahun mengkampanyekan pohon kelor, baru-baru ini dapat membuahkan hasil. Setelah melihat Muryati berhasil menjadikan makanan dari daun kelor, sejumlah tetangganya mulai melirik. Yang sebelumnya hanya sebatas dijadikan makanan ternak, kini sudah mulai dimanfaatkan sebagai obat kesehatan dan makanan.
Kini, sudah ada sekitar 15 ribu pohon kelor di Kedungbulus. Satu rumah ada sekitar 10 pohon kelor. Keberhasilan itu yang memunculkan ide Muryati untuk menjadikan Desa Kedungbulus sebagai Kampung Kelor.Seiring meningkatnya perkembangan budidaya pohon kelor, bisnis olahan makanan dari daun kelor yang dimiliki Muryati juga ikut maju. Dirinya sudah mempunyai beberapa stand kuliner dari daun kelor di Pati. Bahkan, makanan ringan seperti cendol kelor, teh kelor, dan beragam produk olahan kelor lainnya banyak dipesan dari berbagai daerah.Dalam sehari, Muryati bisa menghabiskan 30 kilogram daun kelor untuk olahan makanan basah. Sedangkan untuk olahan teh kelor bisa menghabiskan 50 kilogram daun kelor. Persediaan pohon kelor di pekarangan rumahnya acapkali tidak bisa memenuhi kebutuhan memproduksi olahan dari kelor.Karena itu, Muryati beberapa kali membeli daun kelor milik tetangganya. Dari daun kelor, warga akhirnya dapat meningkatkan perekonomiannya. "Untungnya, pohon kelor itu tidak memerlukan waktu lama untuk bisa dipanen. Paling tidak jika menanam bibit kelor, tiga bulan sudah bisa dipanen. Dengan tanah yang subur, pohon kelor di desa kami bisa tumbuh dengan lebat," ucap Muryati.Dalam memasarkan produk olahan daun kelor, Muryati mengaku tidak semata-mata berorientasi pada bisnis, tapi lebih membidik dan memasyarakatkan makanan sehat. Mengingat, saat ini sudah mulai banyak olahan kurang sehat yang beredar di pasaran.
Editor : Kholistiono
Murianews, Pati - Potensi Pohon Kelor yang punya khasiat kesehatan masih belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat di Pati. Hal itu yang membuat Muryati, warga Desa Kedungbulus, Kecamatan Gembong, Pati tergerak hatinya untuk mengkampanyekan pemanfaatan daun kelor.
Awalnya, gerakan itu diabaikan. Namun, kini sudah 70 persen warga di kampungnya menanam pohoh kelor. Muryati sendiri memiliki 1,5 hektare tanaman kelor di pekarangan rumahnya. Di pekarangan tersebut, ada sekitar 3 ribu pohon kelor yang tumbuh subur.
Meski tidak sebanyak di pekarangan rumah Muryati, penduduk setempat mulai menanam tanaman kelor di sekitar rumahnya. Saking suburnya tanaman kelor di Kedungbulus, desa ini diresmikan Bupati Pati Haryanto sebagai Kampung Kelor pada 4 Juli 2016.
"Waktu kecil, ibu saya mengatakan pohon kelor itu memiliki banyak khasiat kesehatan untuk tubuh. Saya sering mengkonsumsi daun itu menjadi olahan pangan. Sekitar tahun 2000, saya baru menanam pohon tersebut dengan skala banyak di sekitar rumah saya," ujar Muryati, Sabtu (3/12/2016).
Pohon kelor tersebut tidak hanya dibudidayakan. Muryati menjadikan daun kelor sebagai bahan utama pengolahan beberapa makanan yang masih sebatas dikonsumsi sendiri. Olahan masakan dari daun kelor yang berhasil dibuat Muryati, di antaranya nasi kelor, mie kelor, cendol kelor, puding, cake, hingga teh kelor.
Selama ini, masyarakat setempat hanya memanfaatkan daun kelor untuk makanan ternak. Namun, Muryati tidak ingin sendirian merasakan khasiat kesehatan daun kelor. Dia kemudian mengkampanyekan manfaat daun kelor kepada warga sekitar rumahnya.
Selama beberapa tahun mengkampanyekan pohon kelor, baru-baru ini dapat membuahkan hasil. Setelah melihat Muryati berhasil menjadikan makanan dari daun kelor, sejumlah tetangganya mulai melirik. Yang sebelumnya hanya sebatas dijadikan makanan ternak, kini sudah mulai dimanfaatkan sebagai obat kesehatan dan makanan.
Kini, sudah ada sekitar 15 ribu pohon kelor di Kedungbulus. Satu rumah ada sekitar 10 pohon kelor. Keberhasilan itu yang memunculkan ide Muryati untuk menjadikan Desa Kedungbulus sebagai Kampung Kelor.
Seiring meningkatnya perkembangan budidaya pohon kelor, bisnis olahan makanan dari daun kelor yang dimiliki Muryati juga ikut maju. Dirinya sudah mempunyai beberapa stand kuliner dari daun kelor di Pati. Bahkan, makanan ringan seperti cendol kelor, teh kelor, dan beragam produk olahan kelor lainnya banyak dipesan dari berbagai daerah.
Dalam sehari, Muryati bisa menghabiskan 30 kilogram daun kelor untuk olahan makanan basah. Sedangkan untuk olahan teh kelor bisa menghabiskan 50 kilogram daun kelor. Persediaan pohon kelor di pekarangan rumahnya acapkali tidak bisa memenuhi kebutuhan memproduksi olahan dari kelor.
Karena itu, Muryati beberapa kali membeli daun kelor milik tetangganya. Dari daun kelor, warga akhirnya dapat meningkatkan perekonomiannya. "Untungnya, pohon kelor itu tidak memerlukan waktu lama untuk bisa dipanen. Paling tidak jika menanam bibit kelor, tiga bulan sudah bisa dipanen. Dengan tanah yang subur, pohon kelor di desa kami bisa tumbuh dengan lebat," ucap Muryati.
Dalam memasarkan produk olahan daun kelor, Muryati mengaku tidak semata-mata berorientasi pada bisnis, tapi lebih membidik dan memasyarakatkan makanan sehat. Mengingat, saat ini sudah mulai banyak olahan kurang sehat yang beredar di pasaran.
Editor : Kholistiono