Atas Tragedi PKI yang Menimpanya, Pria asal Pati Ini Berharap Pemerintah Hapus Stigma
Umar Hanafi
Sabtu, 17 September 2022 15:49:07
MURIANEWS, Pati – Mantan Ketua Yayasan Peneliti Peristiwa (YPKP) 1965 Pati Handoyo Triatmojo telah memaafkan serta tak meminta kompensasi atas tragedi tuduhan PKI pada keluarganya tempo dulu.
Ia berharap pemerintah menghapus stigma buruk dari masyarakat pada dirinya dan siapapun yang merasakan nasib sama dengannya.
Mantan Kepala Desa Jetak, Kecamatan Wedarijaksa itu mengatakan saat ini, eks tahanan politik sudah diberikan hak-haknya layaknya masyarakat umum.
Seperti, menjadi ASN dan diberikan hak berpolitik. Namun, masih banyak masyarakat yang memandang sebelah mata.
Padahal para eks tapol tidak pernah memilih takdir itu. Keadaan pada 1965 yang membuat Handoyo dipenjara sejak dilahirkan hingga berusia lima tahun.
Baca: Keluarganya Dituduh PKI, Pria di Pati Ini Lahir di PenjaraMeskipun sudah bebas, hidupnya tak lepas dari tekanan. Stigma negatif terus menghantui dirinya dan kelurga besar. Bahkan hingga saat ini.
”Kami sebenarnya tidak menuntut apa-apa dari pemerintah. Kami meminta agar stigma di masyarakat terhadap kami itu hilang. Dan itu yang terus kami perjuangkan,” ujar Mantan Ketua Yayasan Peneliti Peristiwa (YPKP) 1965 Pati ini.
Handoyo sendiri terlahir di penjara, lantaran ibunya menjadi tahanan politik saat mengandung dirinya. Tak hanya, ibunya, ayah, kakek, dan saudaranya juga ditahan.
Mereka dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI, dan dikait-kaitkan dengan partai atau organisasi haram itu dan ditahan tanpa persidangan.
Mereka dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI, dan dikait-kaitkan dengan partai atau organisasi haram itu dan ditahan tanpa persidangan.Pria yang pernah jadi Kepala Desa Jetak itu pun tak pernah tahu kesalahan kedua orang tuanya, kakek, dan saudara-saudaranya.Yang ia tahu, ayahnya adalah seorang guru sekolah rakyat (SR) setingkat SD saat ini. Sedangkan ibunya bekerja sebagai bendahara desa (perangkat).Sementara kakeknya adalah kepala desa dan seorang pejuang kemerdekaan saat agresi militer Belanda I dan II.”Saya tidak pernah melihat wajah ayah saya, saya dirawat oleh ibu dan tahanan lain di dalam tahanan kala itu,” tuturnya.Selepas Reformasi, Handoyo sempat mencari keberadaan ayahnya. Ia mendapat informasi ayahnya terakhir kali ditahan di wilayah Solo.Ayahnya ternyata dieksekusi dengan cara ditembak di Jembatan Bengawan Solo, turut Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Bahkan, jenazahnya dibiarkan mengambang di Sungai Bengawan Solo.”Saya pernah bertemu algojonya. Dan ia meminta maaf kepada saya. Jadi ayah saya tidak dikubur, tetapi jasadnya dibiarkan mengambang di sungai,” bebernya. Reporter: Umar HanafiEditor: Zulkifli Fahmi
[caption id="attachment_317695" align="alignleft" width="1600"]

Mantan Ketua Yayasan Peneliti Peristiwa (YPKP) 1965 Pati Handoyo Triatmojo. (Murianews/Istimewa)[/caption]
MURIANEWS, Pati – Mantan Ketua Yayasan Peneliti Peristiwa (YPKP) 1965 Pati Handoyo Triatmojo telah memaafkan serta tak meminta kompensasi atas tragedi tuduhan PKI pada keluarganya tempo dulu.
Ia berharap pemerintah menghapus stigma buruk dari masyarakat pada dirinya dan siapapun yang merasakan nasib sama dengannya.
Mantan Kepala Desa Jetak, Kecamatan Wedarijaksa itu mengatakan saat ini, eks tahanan politik sudah diberikan hak-haknya layaknya masyarakat umum.
Seperti, menjadi ASN dan diberikan hak berpolitik. Namun, masih banyak masyarakat yang memandang sebelah mata.
Padahal para eks tapol tidak pernah memilih takdir itu. Keadaan pada 1965 yang membuat Handoyo dipenjara sejak dilahirkan hingga berusia lima tahun.
Baca: Keluarganya Dituduh PKI, Pria di Pati Ini Lahir di Penjara
Meskipun sudah bebas, hidupnya tak lepas dari tekanan. Stigma negatif terus menghantui dirinya dan kelurga besar. Bahkan hingga saat ini.
”Kami sebenarnya tidak menuntut apa-apa dari pemerintah. Kami meminta agar stigma di masyarakat terhadap kami itu hilang. Dan itu yang terus kami perjuangkan,” ujar Mantan Ketua Yayasan Peneliti Peristiwa (YPKP) 1965 Pati ini.
Handoyo sendiri terlahir di penjara, lantaran ibunya menjadi tahanan politik saat mengandung dirinya. Tak hanya, ibunya, ayah, kakek, dan saudaranya juga ditahan.
Mereka dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI, dan dikait-kaitkan dengan partai atau organisasi haram itu dan ditahan tanpa persidangan.
Pria yang pernah jadi Kepala Desa Jetak itu pun tak pernah tahu kesalahan kedua orang tuanya, kakek, dan saudara-saudaranya.
Yang ia tahu, ayahnya adalah seorang guru sekolah rakyat (SR) setingkat SD saat ini. Sedangkan ibunya bekerja sebagai bendahara desa (perangkat).
Sementara kakeknya adalah kepala desa dan seorang pejuang kemerdekaan saat agresi militer Belanda I dan II.
”Saya tidak pernah melihat wajah ayah saya, saya dirawat oleh ibu dan tahanan lain di dalam tahanan kala itu,” tuturnya.
Selepas Reformasi, Handoyo sempat mencari keberadaan ayahnya. Ia mendapat informasi ayahnya terakhir kali ditahan di wilayah Solo.
Ayahnya ternyata dieksekusi dengan cara ditembak di Jembatan Bengawan Solo, turut Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Bahkan, jenazahnya dibiarkan mengambang di Sungai Bengawan Solo.
”Saya pernah bertemu algojonya. Dan ia meminta maaf kepada saya. Jadi ayah saya tidak dikubur, tetapi jasadnya dibiarkan mengambang di sungai,” bebernya.
Reporter: Umar Hanafi
Editor: Zulkifli Fahmi