Soal Usulan Penghapusan Sidang Isbat, Ini Tanggapan Sekum PP Muhammadiyah
Vega Ma'arijil Ula
Jumat, 21 April 2023 10:35:35
Terkait usulan ini juga ditanggapi oleh Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed yang pada hari ini, Jumat (21/4/2023), menjadi imam sekaligus
khotib dalam salat Idulfitri yang digelar di halaman SD 1 Setrokalangan, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Baca juga: Sekum PP Muhammadiyah Pimpin Salat Idulfitri di Setrokalangan KudusSaat ditemui awak media, dia memberikan tanggapan mengenai
usulan penghapusan sidang isbat tersebut. Dia menyampaikan, sejak awal pihaknya memang mengusulkan adanya penghapusan sidang isbat dengan beberapa alasan.
Menurutnya, umat Islam sudah memiliki kemampuan untuk menetapkan awal dan akhir Ramadan. Yakni, menggunakan ilmu hisab yang juga menjadi pedoman warga Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
”Menurut kami sidang isbat merupakan sesuatu hal yang ketika dilaksanakan tidak ada gunanya. Selain itu sidang isbat merupakan pengulangan yang tidak perlu karena pemerintah sudah punya kriteria hilal yang dapat dilihat ketika posisi hilal berada di posisi tiga derajat dengan elongasi 6,4 derajat,” katanya.
Dia melanjutkan, ketika dalam perhitungan hisab menjelaskan posisi hilal di bawah tiga derajat dan elongasi kurang dari 6,4 derajat, hasil sidangnya pasti menolak. Menurutnya, ketika sudah mengetahui hasilnya bakal di bawah tiga derajat, seharusnya tidak perlu ada sidang isbat.
”Dan ketika hilal sudah di atas tiga derajat dengan elongasi 6,4 derajat, tidak perlu ada rukyat hilal pun hasilnya sudah kelihatan. Sebenarnya, peredaran matahari dan bulan itu kan sudah fiks. Itu merupakan takdir Allah dan hukum Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Sehingga tidak mungkin menyimpang,” sambungnya.
Lebih lanjut, menurut Abdul Mu’ti menjelaskan, ketika peredaran bumi, bulan dan matahari yang sudah jelas terlihat menurut perhitungan ataupun tidak jelas menurut perhitungan, seharusnya tidak perlu ada sidang isbat. Hal itu dirasa membuang waktu.
”Alasan lainnya, menimbulkan perbedaan. Seringkali perbedaan pelaksanaan Idulfitri menjadi sumber perpecahan. Karena ada perasaan seperti mengikuti pemerintah, dan ada perasaan beda dengan pemerintah,” terangnya.Tidak berhenti di situ, menurutnya pemerintah sebagai penyelenggara negara berasaskan Pancasila tidak memiliki kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ibadah mahda. Ibadah mahda salah satu contohnya pelaksanaan awal Ramadan, pelaksanaan Idulfitri, dan pelaksanaan Iduladha.”Seharusnya tugas pemerintah itu seperti yang ada di UUD nomor 29 tahun 1945. Yakni negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk suatu agama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing,” ujarnya.Dia menambahkan, tugas negara seharusnya sebatas memfasilitasi umat muslim. Menurutnya, ketika ada yang menggunakan perhitungan hisab layak diapresiasi.Dia menambahkan, banyak pihak memang yang mempertanyakan saat ini semakin banyak perbedaan yang terjadi. Penyebabnya karena kriteria penentuan hilal.”Saat pak Lukman (Lukman Hakim Saifuddin, red) menjadi menteri agama, saat itu kriteria hilal dua derajat dengan elongasi 3,4 derajat. Sehingga kemungkinkan terjadi perbedaan hanya sedikit. Kalau sekarang kriterianya tiga derajat dengan elongasi 6,4 derajat. Artinya kemungkinan untuk berbeda sangat tinggi,” ucapnya.Dia menyarankan agar pemerintah mendengar aspirasi banyak pihak. Sehingga tidak terjadi banyak perbedaan dan kegaduhan.”Saatnya pemerintah mendengar aspirasi banyak pihak agar kegaduhan tahunan tidak terjadi. Karena kalau kriteria penentuan hilalnya semakin tinggi, maka perbedaaannya makin sering,” imbuhnya. Editor: Dani Agus
Murianews, Kudus – Usulan terkait penghapusan sidang isbat sempat disampaikan Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Hal tersebut mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak.
Terkait usulan ini juga ditanggapi oleh Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed yang pada hari ini, Jumat (21/4/2023), menjadi imam sekaligus
khotib dalam salat Idulfitri yang digelar di halaman SD 1 Setrokalangan, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Baca juga: Sekum PP Muhammadiyah Pimpin Salat Idulfitri di Setrokalangan Kudus
Saat ditemui awak media, dia memberikan tanggapan mengenai
usulan penghapusan sidang isbat tersebut. Dia menyampaikan, sejak awal pihaknya memang mengusulkan adanya penghapusan sidang isbat dengan beberapa alasan.
Menurutnya, umat Islam sudah memiliki kemampuan untuk menetapkan awal dan akhir Ramadan. Yakni, menggunakan ilmu hisab yang juga menjadi pedoman warga Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
”Menurut kami sidang isbat merupakan sesuatu hal yang ketika dilaksanakan tidak ada gunanya. Selain itu sidang isbat merupakan pengulangan yang tidak perlu karena pemerintah sudah punya kriteria hilal yang dapat dilihat ketika posisi hilal berada di posisi tiga derajat dengan elongasi 6,4 derajat,” katanya.
Dia melanjutkan, ketika dalam perhitungan hisab menjelaskan posisi hilal di bawah tiga derajat dan elongasi kurang dari 6,4 derajat, hasil sidangnya pasti menolak. Menurutnya, ketika sudah mengetahui hasilnya bakal di bawah tiga derajat, seharusnya tidak perlu ada sidang isbat.
”Dan ketika hilal sudah di atas tiga derajat dengan elongasi 6,4 derajat, tidak perlu ada rukyat hilal pun hasilnya sudah kelihatan. Sebenarnya, peredaran matahari dan bulan itu kan sudah fiks. Itu merupakan takdir Allah dan hukum Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Sehingga tidak mungkin menyimpang,” sambungnya.
Lebih lanjut, menurut Abdul Mu’ti menjelaskan, ketika peredaran bumi, bulan dan matahari yang sudah jelas terlihat menurut perhitungan ataupun tidak jelas menurut perhitungan, seharusnya tidak perlu ada sidang isbat. Hal itu dirasa membuang waktu.
”Alasan lainnya, menimbulkan perbedaan. Seringkali perbedaan pelaksanaan Idulfitri menjadi sumber perpecahan. Karena ada perasaan seperti mengikuti pemerintah, dan ada perasaan beda dengan pemerintah,” terangnya.
Tidak berhenti di situ, menurutnya pemerintah sebagai penyelenggara negara berasaskan Pancasila tidak memiliki kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ibadah mahda. Ibadah mahda salah satu contohnya pelaksanaan awal Ramadan, pelaksanaan Idulfitri, dan pelaksanaan Iduladha.
”Seharusnya tugas pemerintah itu seperti yang ada di UUD nomor 29 tahun 1945. Yakni negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk suatu agama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing,” ujarnya.
Dia menambahkan, tugas negara seharusnya sebatas memfasilitasi umat muslim. Menurutnya, ketika ada yang menggunakan perhitungan hisab layak diapresiasi.
Dia menambahkan, banyak pihak memang yang mempertanyakan saat ini semakin banyak perbedaan yang terjadi. Penyebabnya karena kriteria penentuan hilal.
”Saat pak Lukman (Lukman Hakim Saifuddin, red) menjadi menteri agama, saat itu kriteria hilal dua derajat dengan elongasi 3,4 derajat. Sehingga kemungkinkan terjadi perbedaan hanya sedikit. Kalau sekarang kriterianya tiga derajat dengan elongasi 6,4 derajat. Artinya kemungkinan untuk berbeda sangat tinggi,” ucapnya.
Dia menyarankan agar pemerintah mendengar aspirasi banyak pihak. Sehingga tidak terjadi banyak perbedaan dan kegaduhan.
”Saatnya pemerintah mendengar aspirasi banyak pihak agar kegaduhan tahunan tidak terjadi. Karena kalau kriteria penentuan hilalnya semakin tinggi, maka perbedaaannya makin sering,” imbuhnya.
Editor: Dani Agus