IDI Kudus Beberkan Poin-Poin yang Ditolak di RUU Kesehatan
Vega Ma'arijil Ula
Selasa, 9 Mei 2023 17:14:54
Ketua IDI Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dokter Ahmad Syaifuddin mengatakan, ada banyak poin yang ditolaj dari RUU Kesehatan. Dia menyebutkan beberapa poin yang dirasa paling urgen untuk dikaji kembali.
Dia menjelaskan, di RUU Kesehatan mencantumkan, tenaga kesehatan tidak perlu
upgrade ilmu di bidang kesehatan. Menurut dokter Ahmad Syaifuddin hal ini dirasa keliru.
”Organisasi profesi kesehatan menginginkan dan memastikan masyarakat mendapatkan pelayanan bermutu. Hal itu dilakukan dengan cara memastikan anggotanya kompeten dengan diberikan kewajiban
upgrade ilmu," katanya, Selasa (9/5/2023).
Baca: KSPSI Kudus Tolak Produk Tembakau Disejajarkan Narkotika di RUU KesehatanMenurutnya, ketika tidak ada kewajiban
upgrade ilmu, maka pelayanan ke masyarakat menjadi tidak maksimal. Sehingga dikhawatirkan memberikan dampak buruk di bidang pelayanan kesehatan ke masyarakat.
Dia menjelaskan, selama ini seorang dokter dievaluasi setiap lima tahun sekali. Evaluasi tersebut semacam sertifikasi yang dalam satu tahunnya seorang dokter harus mengambil 250 Satuan Kredit Profesi (SKP).
”Padahal di kurun waktu lima tahun, seorang dokter membutuhkan Satuan Kredit Profesi atau SKP. Kalau dihapuskan artinya kemunduran. Padahal ilmu Kesehatan itu berkembang terus. Istilahnya pembelajaran soal virus saja banyak mutasi dan variannya yang harus terus dipelajari," sambungnya.
Poin selanjutnya, tenaga kesehatan rentan dikriminalisasi. Dalam hal ini, setiap orang diperbolehkan menuntut dokter dan tenaga kesehatan, sehingga dokter atau nakes langsung bersentuhan dengan peradilan pidana maupun perdata.
”Di RUU Kesehatan Omnibus Law itu dokter bisa langsung bersentuhan dengan hukum," terangnya.
Baca: RUU Kesehatan Omnibus Law, IDI: Organisasi Profesi Bisa TerbelahPadahal, menurutnya selama ini setiap ada dokter yang diduga bermasalah, diselesaikan terlebih dahulu di Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sehingga dokter ataupun nakes yang diduga bermasalah tidak langsung bersentuhan dengan hukum.”Di RUU ini siapapun yang merasa dirugikan, boleh langsung nuntut dokter. Padahal ada yang namanya etik disiplin kedokteran melalui MKEK dan MKDKI. Nah, di RUU Kesehatan Omnibus Law ini, MKEK dan MKDKI mau dihapuskan, sehingga dokter bisa langsung dikriminalisasi," ujarnya.Poin tuntutan selanjutnya yakni tidak sepakatnya para organisasi profesi kesehatan dengan diperbolehkannya aborsi yang dicantumkan di RUU Kesehatan Omnibus Law. Hal ini dirasa tidak benar.”Di RUU Kesehatan Omnibus Law, praktik aborsi dengan usia janin yang masih 14 minggu atau 3,5 bulan diperbolehkan. Ini kan sudah tidak benar," pungkasnya. Editor: Ali Muntoha
Murianews, Kudus – Omnibus law RUU Kesehatan Omnibus Law mendapat penolakan banyak pihak, termasuk dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sejumlah pasar dalam RUU Kesehatan dianggap akan merupakan masyarakat dan tenaga kesehatan (nakes).
Ketua IDI Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dokter Ahmad Syaifuddin mengatakan, ada banyak poin yang ditolaj dari RUU Kesehatan. Dia menyebutkan beberapa poin yang dirasa paling urgen untuk dikaji kembali.
Dia menjelaskan, di RUU Kesehatan mencantumkan, tenaga kesehatan tidak perlu
upgrade ilmu di bidang kesehatan. Menurut dokter Ahmad Syaifuddin hal ini dirasa keliru.
”Organisasi profesi kesehatan menginginkan dan memastikan masyarakat mendapatkan pelayanan bermutu. Hal itu dilakukan dengan cara memastikan anggotanya kompeten dengan diberikan kewajiban
upgrade ilmu," katanya, Selasa (9/5/2023).
Baca: KSPSI Kudus Tolak Produk Tembakau Disejajarkan Narkotika di RUU Kesehatan
Menurutnya, ketika tidak ada kewajiban
upgrade ilmu, maka pelayanan ke masyarakat menjadi tidak maksimal. Sehingga dikhawatirkan memberikan dampak buruk di bidang pelayanan kesehatan ke masyarakat.
Dia menjelaskan, selama ini seorang dokter dievaluasi setiap lima tahun sekali. Evaluasi tersebut semacam sertifikasi yang dalam satu tahunnya seorang dokter harus mengambil 250 Satuan Kredit Profesi (SKP).
”Padahal di kurun waktu lima tahun, seorang dokter membutuhkan Satuan Kredit Profesi atau SKP. Kalau dihapuskan artinya kemunduran. Padahal ilmu Kesehatan itu berkembang terus. Istilahnya pembelajaran soal virus saja banyak mutasi dan variannya yang harus terus dipelajari," sambungnya.
Poin selanjutnya, tenaga kesehatan rentan dikriminalisasi. Dalam hal ini, setiap orang diperbolehkan menuntut dokter dan tenaga kesehatan, sehingga dokter atau nakes langsung bersentuhan dengan peradilan pidana maupun perdata.
”Di RUU Kesehatan Omnibus Law itu dokter bisa langsung bersentuhan dengan hukum," terangnya.
Baca: RUU Kesehatan Omnibus Law, IDI: Organisasi Profesi Bisa Terbelah
Padahal, menurutnya selama ini setiap ada dokter yang diduga bermasalah, diselesaikan terlebih dahulu di Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sehingga dokter ataupun nakes yang diduga bermasalah tidak langsung bersentuhan dengan hukum.
”Di RUU ini siapapun yang merasa dirugikan, boleh langsung nuntut dokter. Padahal ada yang namanya etik disiplin kedokteran melalui MKEK dan MKDKI. Nah, di RUU Kesehatan Omnibus Law ini, MKEK dan MKDKI mau dihapuskan, sehingga dokter bisa langsung dikriminalisasi," ujarnya.
Poin tuntutan selanjutnya yakni tidak sepakatnya para organisasi profesi kesehatan dengan diperbolehkannya aborsi yang dicantumkan di RUU Kesehatan Omnibus Law. Hal ini dirasa tidak benar.
”Di RUU Kesehatan Omnibus Law, praktik aborsi dengan usia janin yang masih 14 minggu atau 3,5 bulan diperbolehkan. Ini kan sudah tidak benar," pungkasnya.
Editor: Ali Muntoha