Suluk Maleman: Cuaca Ekstrem Buah Dari Keserakahan Manusia
Zulkifli Fahmi
Minggu, 20 Maret 2022 16:34:07
MURIANEWS, Kudus - Fenomena
cuaca ekstrem atau pancaroba yang terjadi beberapa waktu terakhir menjadi perbincangan di
Suluk Maleman edisi ke 123, Sabtu (20/3/2022) malam.
Dalam forum dengan tagline ‘
ngaji ngAllah’ itu, menyingkung soal ilmu titen yang dimiliki orang Jawa. Itu sangat bermanfaat bagi masyarakat jawa.
Muhammad Ghofur, peneliti iklim dan pranata mangsa mengatakan ilmu titen dapat digunakan berbagai hal, khususnya di bidang pertanian. Bahkan ilmu itu jadi pedoman saat akan mengolah sawah.
Baca juga: Suluk Maleman: Ada Kebenaran Sejati yang Harus DigaliDalam ilmu titen biasanya muncul sebuah pertanda alam yang dapat dilihat dari perilaku tanaman dan hewan. Seperti mongso kaenem, yakni situasi saat menebar bibit karena sudah ada air yang ditandai dengan munculnya burung belibis.
Menurut Ghofur, ilmu titen sebenarnya telah tercatat secara formal di abad 16 dan 17 lalu. Namun, secara informal diperkirakan sudah dilakukan jauh lebih dari itu.
“Seorang antropolog Amerika pernah melakukan riset di Sumba. Dia menyimpulkan masyarakat Sumba seolah bisa bermain-main dengan waktu. Mereka bisa memprediksi kapan akan terjadi krisis pangan, sehingga siap saat menghadapinya,” jelasnya.
Dijelaskannya, dalam ilmu pertanian Jawa sebenarnya tak hanya dikenal musim kemarau maupun penghujan. Ada juga masa yang dikenal sebagai
semplah dan
pengarep-arep.
Semplah merupakan masa transisi dari musim kemarau ke musim penghujan. Sedangkan pengarep-arep sebaliknya.
“Pemahaman tentang hal ini menjadi dasar petani memperlakukan tanaman padi. Sebenarnya praktek ini masih banyak digunakan wilayah yang jauh dari akses informasi,” sambungnya.
“Pemahaman tentang hal ini menjadi dasar petani memperlakukan tanaman padinya. Sebenarnya praktik ini masih banyak digunakan wilayah yang jauh dari akses informasi,” tambahnya.
Baca juga: Suluk Maleman: Mengurai Batasan, Menemukan KenikmatanPemahaman ilmu titen sebenar penting untuk menghadapi terjadinya akselerasi perubahan dan krisis iklim. Namun, ia juga menyebut anomali cuaca juga terjadi karena pengaruh manusia sendiri.
Akademisi Unnes, Prof. Saratri Wilonoyudho turut mengutip pernyataan dari Alvin Toffler. Di mana, ada tiga gelombang yang jadi penyebab anomali cuaca.Gelombang pertama dimulai dari ditinggalkannya alam berburu menuju pertanian yang terorganisir. Kemudian, di gelombang kedua, terjadi saat revolusi indistri. Terakhir, saat munculnya teknologi informasi.Gelombang yang terakhir itu, semakin memperjelas tingkat keserakahan manusia. Di mana menghujat, fitnah, penipuan, dan pornografi semakin merajalela. Kerusakan tak hanya terjadi secara fisik namun juga sosial.Dr. Abdul Jalil menyebut, adanya anomali cuaca merupakan peringatan agar manusia tidak terjebak dalam peradaban yang mengandalkan materi.
Baca juga: Suluk Maleman: Fatamorgana Jadi Pujaan ManusiaAnis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman sendiri mengingatkan konsep manusia sebagai khalifah pada dasarnya berfungsi untuk mengelola bumi dengan baik, bukan menempatkan manusia sebagai pusat sehingga bersikap antroposentris.Hasilnya pun, tidak sebatas kepentingannya sendiri, namun agar objek yang dikelola pun dapat bertumbuh-kembang dengan baik.“Bahkan Kiai saya dulu saat menanam pohon niatnya bukan hanya beliau untuk memetik keuntungan bagi diri sendiri; tapi untuk disedekahkan bagi semua yang membutuhkan, termasuk untuk burung, ulat dan hewan lainnya,” terangnya.Anis menyentil jika salah satu dampak revolusi industri adalah kerusakan alam yang menjadi-jadi. Abad yang dianggap modern ini seringkali justru membuat kemanusiaan serta kesadaran manusia menurun drastis.“Manusia modern ibarat kanak-kanak yang diberi senjata canggih sebagai alat permainannya. Kita bermain-main dengan hasil sains yang luar biasa berkembang, disaat bersamaan kita belum matang sehingga rentan menyebabkan kerusakan,” tambahnya.Topik yang menarik itupun membuat Suluk Maleman seri dari rumah saja terlihat tetap dinikmati ribuan masyarakat dari berbagai kanal media sosial. Terlebih koleksi dari Sampak GusUran turut memeriahkan jalannya diskusi. Penulis: Zulkifli FahmiEditor: Zulkifli Fahmi
[caption id="attachment_279124" align="alignleft" width="1280"]

Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman. (MURIANEWS/Istimewa)[/caption]
MURIANEWS, Kudus - Fenomena
cuaca ekstrem atau pancaroba yang terjadi beberapa waktu terakhir menjadi perbincangan di
Suluk Maleman edisi ke 123, Sabtu (20/3/2022) malam.
Dalam forum dengan tagline ‘
ngaji ngAllah’ itu, menyingkung soal ilmu titen yang dimiliki orang Jawa. Itu sangat bermanfaat bagi masyarakat jawa.
Muhammad Ghofur, peneliti iklim dan pranata mangsa mengatakan ilmu titen dapat digunakan berbagai hal, khususnya di bidang pertanian. Bahkan ilmu itu jadi pedoman saat akan mengolah sawah.
Baca juga: Suluk Maleman: Ada Kebenaran Sejati yang Harus Digali
Dalam ilmu titen biasanya muncul sebuah pertanda alam yang dapat dilihat dari perilaku tanaman dan hewan. Seperti mongso kaenem, yakni situasi saat menebar bibit karena sudah ada air yang ditandai dengan munculnya burung belibis.
Menurut Ghofur, ilmu titen sebenarnya telah tercatat secara formal di abad 16 dan 17 lalu. Namun, secara informal diperkirakan sudah dilakukan jauh lebih dari itu.
“Seorang antropolog Amerika pernah melakukan riset di Sumba. Dia menyimpulkan masyarakat Sumba seolah bisa bermain-main dengan waktu. Mereka bisa memprediksi kapan akan terjadi krisis pangan, sehingga siap saat menghadapinya,” jelasnya.
Dijelaskannya, dalam ilmu pertanian Jawa sebenarnya tak hanya dikenal musim kemarau maupun penghujan. Ada juga masa yang dikenal sebagai
semplah dan
pengarep-arep.
Semplah merupakan masa transisi dari musim kemarau ke musim penghujan. Sedangkan pengarep-arep sebaliknya.
“Pemahaman tentang hal ini menjadi dasar petani memperlakukan tanaman padi. Sebenarnya praktek ini masih banyak digunakan wilayah yang jauh dari akses informasi,” sambungnya.
“Pemahaman tentang hal ini menjadi dasar petani memperlakukan tanaman padinya. Sebenarnya praktik ini masih banyak digunakan wilayah yang jauh dari akses informasi,” tambahnya.
Baca juga: Suluk Maleman: Mengurai Batasan, Menemukan Kenikmatan
Pemahaman ilmu titen sebenar penting untuk menghadapi terjadinya akselerasi perubahan dan krisis iklim. Namun, ia juga menyebut anomali cuaca juga terjadi karena pengaruh manusia sendiri.
Akademisi Unnes, Prof. Saratri Wilonoyudho turut mengutip pernyataan dari Alvin Toffler. Di mana, ada tiga gelombang yang jadi penyebab anomali cuaca.
Gelombang pertama dimulai dari ditinggalkannya alam berburu menuju pertanian yang terorganisir. Kemudian, di gelombang kedua, terjadi saat revolusi indistri. Terakhir, saat munculnya teknologi informasi.
Gelombang yang terakhir itu, semakin memperjelas tingkat keserakahan manusia. Di mana menghujat, fitnah, penipuan, dan pornografi semakin merajalela. Kerusakan tak hanya terjadi secara fisik namun juga sosial.
Dr. Abdul Jalil menyebut, adanya anomali cuaca merupakan peringatan agar manusia tidak terjebak dalam peradaban yang mengandalkan materi.
Baca juga: Suluk Maleman: Fatamorgana Jadi Pujaan Manusia
Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman sendiri mengingatkan konsep manusia sebagai khalifah pada dasarnya berfungsi untuk mengelola bumi dengan baik, bukan menempatkan manusia sebagai pusat sehingga bersikap antroposentris.
Hasilnya pun, tidak sebatas kepentingannya sendiri, namun agar objek yang dikelola pun dapat bertumbuh-kembang dengan baik.
“Bahkan Kiai saya dulu saat menanam pohon niatnya bukan hanya beliau untuk memetik keuntungan bagi diri sendiri; tapi untuk disedekahkan bagi semua yang membutuhkan, termasuk untuk burung, ulat dan hewan lainnya,” terangnya.
Anis menyentil jika salah satu dampak revolusi industri adalah kerusakan alam yang menjadi-jadi. Abad yang dianggap modern ini seringkali justru membuat kemanusiaan serta kesadaran manusia menurun drastis.
“Manusia modern ibarat kanak-kanak yang diberi senjata canggih sebagai alat permainannya. Kita bermain-main dengan hasil sains yang luar biasa berkembang, disaat bersamaan kita belum matang sehingga rentan menyebabkan kerusakan,” tambahnya.
Topik yang menarik itupun membuat Suluk Maleman seri dari rumah saja terlihat tetap dinikmati ribuan masyarakat dari berbagai kanal media sosial. Terlebih koleksi dari Sampak GusUran turut memeriahkan jalannya diskusi.
Penulis: Zulkifli Fahmi
Editor: Zulkifli Fahmi