Rabu, 19 November 2025


Pagelaran wayang tersebut, sudah dilakukan sejak lama oleh warga desa yang berada di kaki Pegunungan Kendeng Utara itu. Bahkan, sudah digelar saat masa penjajahan Belanda.

Nama klithik sendiri diambil karena saat dimainkan, wayang akan berbunyi “klitik-klitik”, karena bagian-bagian kayunya yang saling bergesekan.

Cerita dan lakonnya, juga berbeda dengan wayang kulit pada umumnya. Pagelaran wayang klithik lebih menceritakan lakon-lakon Babad Tanah Jawi.

Mulai dari Kerajaan Mataram hingga Singasari. Satu wayang pun bisa memerankan berbagai karakter, tergantung ceritanya.

Namun sayang, wayang yang sudah menjadi ciri khas Desa Wonosoco tersebut kini terancam punah. Pasalnya, jumlah dalang wayang klithik saat ini bisa dihitung dengan jari.

[caption id="attachment_200596" align="aligncenter" width="880"] Keluarga Tikno berfoto bersama salah satu artis ibukota di depan wayang klithik beberapa waktu lalu.  (MURIANEWS/Istimewa)[/caption]

Hanya ada dua dalang yang kini masih aktif menekuni wayang berbahan dasar kayu tersebut.

Adalah Sutikno dan anaknya Tino Mulyadi. Sutikno kini berusia setengah abad. Sementara Tino, masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) di desa tersebut.

Tikno sendiri merupakan pedalang ke delapan setelah sang ayah, Sumarlan. “Sekarang minim yang belajar wayang klitik ini, hanya saya dan anak saya ini yang kebetulan juga suka ndalang,” kata Tikno, Senin (16/11/2020).

Wayang klithik, kata dia, memang tak sebenefit wayang kulit yang bisa bersifat komersiil karena menjual hiburan. Pagelarannya saja, hanya dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun.Yakni pada hari Sabtu Kliwon dan Minggu Legi. Namun syarat digelarnya wayang klitihik tersebut haruslah terlebih dahulu menyembelih dua ekor kambing.Masing-masing sendang satu kambing pada hari Kamis pon dan resik-resik sendang di hari Jumat wage. “Patokan harinya harus itu, biasanya dilakukan antara bulan Juni-Juli,” ujarnya.Tikno memang tak keberatan soal itu, tapi jika boleh didengar, pihaknya berharap para pemangku kebijakan bisa turut melestarikan budaya lengkap dengan perangkat-perangkatnya tersebut. Dalam hal ini adalah wayang-wayang klithik yang saat ini sangat minim tempat penyimpanannya.“Banyak wayang lama yang mulai rusak karena ditumpuk di kotak penyimpanan. Jika boleh usul, saya berharap wayang-wayang ini dibuatkan museum. Supaya lebih tertata dan bisa dilihat banyak orang,” sambungnya.Kini, pihaknya tengah mendidik anaknya untuk menjadi pendalang kesembilan yang bisa memainkan wayang klithik lengkap dengan ceritanya. Dia melakukannya tanpa ada paksaan.Anaknya sendirilah yang menghendaki untuk belajar wayang. “Dia juga suka belajar wayang kulit, sudah pentas juga,” jelasnya. Reporter: Anggara JiwandhanaEditor: Ali Muntoha

Baca Juga

Komentar