Gegara BBM Naik, Tingkat Perceraian di Pati Melejit
Umar Hanafi
Jumat, 7 Oktober 2022 14:42:18
MURIANEWS, Pati – Melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) ternyata berpengaruh pada tingkat perceraian. Salah satunya terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Menurut data Pengadilan Agama (PA) Pati, pada Januari 2022 hingga minggu pertama Agustus 2022 kasus perceraian di Kabupaten Pati mencapai 1.850 perkara.
Angka itu meningkat tajam pada pekan pertama Oktober. Angkanya mencapai 2.441 perkara.
”Angka perceraian Agustus hingga September cukup tinggi. Dalam sebulan itu ada 600 perkara jumlahnya,” kata Juru Bicara Pengadilan Agama Pati, Sutiyo, Jumat (7/10/2022).
Berdasarkan fakta persidangan, mayoritas ribuan pasangan ini memilih cerai lantaran tertekan dengan kebutuhan sehari-hari akibat perekonomian yang belum stabil usai pandemi.
Kondisi itu, diperparah dengan kenaikan BBM. Itu membuat kebutuhan ekonomi keluarga naik sementara penghasilan sang suami tetap. Kondisi itu dinilai memicu perselisihan keluarga.
Baca: BBM Naik, PKS Pati Sebut BLT Bukan SolusiSeperti diketahui, pemerintah menaikkan harga BBM pada 3 September 2022. Salah satu jenis BBM yang harganya naik adalah pertalite. Yakni, dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000.
Sutiyo menyebut, faktor ekonomi memang masih menjadi akar terjadinya keretakan pasangan suami istri (Pasutri).”Perceraian sudah sampai 2.441 perkara. Rata-rata karena faktor ekonomi. Suami dianggap tidak mampu menafkahi sepenuhnya,” ujar Sutiyo, Jumat (7/10/2022).Meski demikian, tak semua permohonan cerai dipicu dari factor ekonomi. Ada juga yang dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga dan tidak lagi cinta antara kedua pihak.Hanya saja, jumlahnya tak sebanding jika dibandingkan dengan karena faktor ekonomi.Tak semua permohonan cerai itu juga dikabulkan PA Pati. Ada beberapa kasus perceraian yang tidak dikabulkan lembaga peradilan itu.”Kami ukur, kalau rumah tangga rata-rata butuh Rp 20 ribu per hari artinya satu bulan butuh Rp 600 ribu-Rp1 juta. Kalau sudah mampu penghasilan Rp 1,5 juta, di bawah UMR pun maka tidak kami kabulkan,” pungkas dia. Reporter: Umar HanafiEditor: Zulkifli Fahmi
[caption id="attachment_301271" align="alignleft" width="1280"]

Ilustrasi (Murianews)[/caption]
MURIANEWS, Pati – Melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) ternyata berpengaruh pada tingkat perceraian. Salah satunya terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Menurut data Pengadilan Agama (PA) Pati, pada Januari 2022 hingga minggu pertama Agustus 2022 kasus perceraian di Kabupaten Pati mencapai 1.850 perkara.
Angka itu meningkat tajam pada pekan pertama Oktober. Angkanya mencapai 2.441 perkara.
”Angka perceraian Agustus hingga September cukup tinggi. Dalam sebulan itu ada 600 perkara jumlahnya,” kata Juru Bicara Pengadilan Agama Pati, Sutiyo, Jumat (7/10/2022).
Berdasarkan fakta persidangan, mayoritas ribuan pasangan ini memilih cerai lantaran tertekan dengan kebutuhan sehari-hari akibat perekonomian yang belum stabil usai pandemi.
Kondisi itu, diperparah dengan kenaikan BBM. Itu membuat kebutuhan ekonomi keluarga naik sementara penghasilan sang suami tetap. Kondisi itu dinilai memicu perselisihan keluarga.
Baca: BBM Naik, PKS Pati Sebut BLT Bukan Solusi
Seperti diketahui, pemerintah menaikkan harga BBM pada 3 September 2022. Salah satu jenis BBM yang harganya naik adalah pertalite. Yakni, dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000.
Sutiyo menyebut, faktor ekonomi memang masih menjadi akar terjadinya keretakan pasangan suami istri (Pasutri).
”Perceraian sudah sampai 2.441 perkara. Rata-rata karena faktor ekonomi. Suami dianggap tidak mampu menafkahi sepenuhnya,” ujar Sutiyo, Jumat (7/10/2022).
Meski demikian, tak semua permohonan cerai dipicu dari factor ekonomi. Ada juga yang dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga dan tidak lagi cinta antara kedua pihak.
Hanya saja, jumlahnya tak sebanding jika dibandingkan dengan karena faktor ekonomi.
Tak semua permohonan cerai itu juga dikabulkan PA Pati. Ada beberapa kasus perceraian yang tidak dikabulkan lembaga peradilan itu.
”Kami ukur, kalau rumah tangga rata-rata butuh Rp 20 ribu per hari artinya satu bulan butuh Rp 600 ribu-Rp1 juta. Kalau sudah mampu penghasilan Rp 1,5 juta, di bawah UMR pun maka tidak kami kabulkan,” pungkas dia.
Reporter: Umar Hanafi
Editor: Zulkifli Fahmi